Selasa, 07 Juni 2011

EFEKTIVITAS MODIFIKASI PERILAKU-KOGNITIF UNTUK MENGURANGI KECEMASAN KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejarah aktivitas manusia berkomunikasi timbul sejak manusia diciptakan hidup di dunia ini. Manusia tidak dapat terlepas dari interaksi dengan manusia lain untuk melangsungkan kehidupannya. Di dalam berinteraksi antara manusia yang satu dengan yang lainnya tidak dapat terlepas dari kegiatan komunikasi. Manusia yang normal akan selalu terlibat komunikasi dalam melakukan interaksi dengan sesamanya sepanjang kehidupannya. Melalui komunikasi pula, segala aspek kehidupan manusia di dunia tersentuh.
Kata komunikasi berasal dari bahasa latin "communico" yang dalam bahasa lnggris berarti "to share". Dalam hal ini dapat diartikan bahwa komunikasi adalah proses memberi dan menerima dari pihak yang satu kepada pihak lain. Komunikasi dapat digunakan untuk membentuk sating pengertian sehingga menumbuhkan tali persahabatan, menyampaikan informasi, mengungkapkan perasaan kasih sayang, dan untuk melestarikan peradaban manusia (Kindred, 1984). Komunikasi dapat pula menumbuhkan permusuhan, menanarnkan perasaan benci, dan mengakibatkan perpecahan di antara manusia itu sendiri.
Ternyata, begitu penting, luas, dan eratnya komunikasi dengan kehidupan, sehingga terkadang manusia tidak lagi merasakan makna komunikasi dan merasa tidak perlu lagi untuk memahami hal-hal yang berkaitan dengan komunikasi.
Besarnya peranan komunikasi dalam kehidupan manusia memancing timbulnya penelitian secara ilmiah untuk mengetahui jumlah waktu yang digunakan manusia untuk berkomunikasi. Hasil penelitian rang dilakukan Berlo tahun 1980 (dalam Mariani, 1991) menunjukkan bahwa 70% waktu aktif manusia di Amerika Serikat digunakan untuk berkomunikasi. Penelitian pada hal yang sama di Indonesia sepengetahuan penulis belum pemah dilakukan, sehingga penulis belum dapat membandingkannya dengan kondisi di Indonesia.
Perbedaan kultur antara Indonesia dengan Amerika tentunya akan membawa pengaruh yang berbeda dalam penggunaan waktu aktif untuk berkomunikasi. Komunikasi bila dilihat dari segi bentuk komunikasinya secara garis besar dibagi ke dalam tiga sistem (Liliweri, 1991), yaitu :
a.       Komunikasi pribadi yang terbagi menjadi dua, yakni :
1)        Komunikasi intra pribadi yaitu proses komunikasi yang berlangsung dalam diri seseorang
2)        Komunikasi antar pribadi yaitu proses komunikasi yang berlangsung antara individu satu dengan individu lainnya
b.      Komunikasi kelompok: proses komunikasi yang terjadi pada suatu kelompok manusia, terbagi dalam :
1)        Kelompok kecil yaitu kuliah, diskusi panel, simposium seminar
2)        Kelompok besar atau komunikasi di derail umum (Public speaking)
c.       Komunikasi massa: pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar individu.
Bentuk komunikasi yang begitu akrab di dalam interaksi sesama manusia adalah bentuk komunikasi antar pribadi. Komunikasi antar pribadi sebenarnya adalah bukan sekadar komunikasi yang terjalin antara dua orang tanpa perantara media (face to face). Burgoon dan Ruffner (1978) mengatakan bahwa komunikasi antar pribadi harus dibedakan dari berbicara di muka umum maupun komunikasi di dalam kelompok. Komunikasi antar pribadi juga harus mampu mencerminkan bahwa manusia yang berkomunikasi mampu mengekspresikan kehangatan, keterbukaan, dukungan terhadap pihak yang sedang diajak berkomunikasi.
Erat kaitannya dengan masalah komunikasi antar pribadi, Bochner dan Kelly (dalam Jandt, 1976) mengemukakan adanya kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan dalam menjalin komunikasi antar pribadi, yaitu: (1) empati, atau proses kemampuan menangkap hal-hal yang terdapat di dalam komunikasi dengan orang lain dengan cara menganalisis isi pembicaraan, nada suara sehingga seseorang dapat menangkap pikiran dan perasaan yang sesuai dengan orang yang bersangkutan, (2) diskripsi, kemampuan untuk membuat pernyataan yang konkrit, spesifik, diskriptif, (3) kemampuan merasakan dan memahami pernyataan yang dibuat dan mempertanggungjawabkannya sehingga tidak hanya menyalahkan orang lain terhadap perasaan yang dialami, (4) sikap kedekatan, keinginan untuk membicarakan perasaan-perasaan pribadi, (5) tingkah laku yang fleksibel ketika menghadapi kejadian yang baru dialami.
Meskipun komunikasi antar pribadi telah menjadi bagian hidup manusia, banyak permasalahan yang timbul berkenaan dengan komunikasi. Perselisihan yang tedadi antara dua sahabat akibat salah paham, dapat bersumber dari kesalahan komunikasi. Suatu keluarga dapat terbentuk menjadi harmonis atau tidak harmonis dapat dilacak dari hubungan komunikasi yang terjadi di keluarga tersebut (Cosby, 1987).
Salah satu masalah yang dihadapi manusia dalam berkomunikasi dikenal dengan istilah hambatan komunikasi (communication apprehension). Burgoon dan Ruffner (1978) dalam buku "Human Communication" menjelaskan bahwa communication apprehension merupakan istilah yang tepat untuk menggambarkan reaksi negatif dalam bentuk kecemasan yang dialami seseorang dalam pengalaman komunikasinya, baik itu kecemasan berbicara di muka umum maupun kecemasan komunikasi antar pribadi.
Orang yang mengalami hambatan komunikasi (communication apprehension) akan merasa sulit dan merasa cemas ketika harus berkomunikasi antar pribadi dengan manusia lain, sehingga tidak mampu mencerminkan rasa kehangatan, keterbukaan, dan dukungan. Peristiwa komunikasi antar pribadi sebenamya mampu menimbulkan perasaan senang bagi pihak yang bersangkutan atau menjadi peristiwa yang tidak menarik, dan bahkan cenderung untuk dihindari. Individu yang mengalami kecemasan dalam berkomunikasi akan merasakan adanya perubahan psikis dan fisiologis. Perubahan psikis yang dialami individu yang cemas ditandai dengan perasaan tegang, khawatir, dan takut. Perubahan fisiologis yang terjadi ketika cemas yaitu denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah yang meningkat (Lazarus, 1976; Solomon clan Nevid, 1974; Spielberger, dalam Post dkk., 1978)
Masalah kecemasan berkomunikasi ternyata merupakan suatu masalah yang menarik, sehingga banyak peneliti di luar negeri yang melakukan penelitian. Hasil penelitian Croskey (dalam Mariani, 1991) menunjukkan bahwa 15-20% mahasiswa di Amerika Serikat menderita hambatan komunikasi communication apprehension. Peneliti yang lain yaitu Hurt (1978) juga melaporkan hasil penelitiannya bahwa 10- 20% mahasiswa di berbagai Perguruan Tinggi Amerika menderita kecemasan berkomunikasi. Burgoon clan Ruffner (1978) yang melakukan penelitiannya di Amerika Serikat mengemukakan bahwa 10-20% populasi di Amerika Serikat mengalami kecemasan berkomunikasi yang sangat tinggi, dan sekitar 20% yang mengalami kecemasan komunikasi yang cukup tinggi.
Masalah kecemasan komunikasi antar pribadi di Indonesia telah diteliti oleh Mariani (1991). la menemukan bahwa 8% dari 189 subjek penelitian yang terdiri dari mahasiswa Fakultas Psikologi dan Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta mengalami kecemasan komunikasi antar pribadi.
Untuk mengatasi penderita yang mengalami kecemasan komunikasi antar pribadi, Markman pada tahun 1977 (dalam Kanfer clan Goldstein, 1986) melakukan, teknik modifikasi perilaku-kognitif dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa modifikasi perilaku-kognitif ternyata efektif untuk mengatasi kecemasan komunikasi antar pribadi yang dilakukan pada subjek remaja.
Teknik modifikasi perilaku-kognitif merupakan teknik yang sedang berkembang pesat sejak dekade yang lalu. Mchenbaum (dalam Ivey, 1993) menggabungkan antara modifikasi perilaku dan terapi kognitif. Modifikasi perilaku kognitif didasarkan pada asumsi bahwa perilaku manusia secara resiprok dipengaruhi oleh pemikiran, perasaan, proses fisiologis, serta konsekuensinya pada perilaku. Jadi bila ingin mengubah perilaku yang maladaptif dari manusia, maka tidak hanya sekedar mengubah perilakunya saja, namun juga menyangkut aspek kognitifnya.
Modifikasi perilaku-kognitif terdiri dari berbagai prosedur pelatihan yang berbeda-beda, termasuk di dalamnya antara lain relaksasi, terapi kognitif, dan pemantauan diri. Modifikasi perilaku-kognitif merupakan gabungan terapi perilaku dan terapi kognitif. Dalam pelaksanaannya, modifikasi perilaku-kognitif menekankan pada pemahaman terhadap aspek pengalaman kognisi yang berbeda-beda misalnya kepercayaan, harapan, imaji, pemecahan masalah, disamping mempelajari ketrampilan teknik perilaku (Kanfer dan Goldstein, 1986).
Dalam mempertimbangkan bahwa: (a)komunikasi merupakan hal penting, sehingga kualitas hidup manusia, hubungan sesama manusia dapat ditingkatkan dengan memahami dan memperbaiki komunikasi yang dilakukan (b) masalah kecemasan komunikasi antar pribadi merupakan masalah emosional yang dapat ditangani dengan modifikasi perilaku-kognitif (c) perlunya ditemukan teknik yang seefektif mungkin untuk mengatasi kecemasan komunikasi antar pribadi, maka penulis merasa tertarik dan ingin melakukan studi wacana tentang efektivitas modifikasi perilaku-kognitif untuk mengatasi masalah kecemasan antar pribadi.
B.     Tujuan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi pendahuluan yang memiliki tujuan untuk mengetahui efektivitas modifikai perilaku - kognitif untuk mengurangi kecemasan komunikasi antar pribadi.
C.    Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat dipetik dari penulisan ini adalah:
1.    Penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan bahan kajian tentang penerapan terapi psikologis dalam mengatasi masalah kecemasan komunikasi antar pribadi.
2.    Dengan penelitian ini setidak-tidaknya dapat memberikan wawasan ilmiah bagi dunia ilmu, khususnya dalam rangka menyebarluaskan manfaat ilmu psikologi.
BAB II
LANDASAN TEORI
Meichenbaum (dalam Kanfer & Goldstein, 1986) menyatakan bahwa tidak mudah untuk menjelaskan definisi modifikasi perilaku-kognitif. Di dalam modifikasi perilaku-kognitif terdapat berbagai macam prosedur, termasuk di dalamnya misalnya terapi kognitif, terapi emotif rasional, latihan penurunan stress, latihan pengelolaan kecemasan, kontrol diri, dan latihan instruksi diri.
Meichenbaum yang merupakan seorang tokoh yang berpengaruh di dalam modifikasi perilaku-kognitif (Ivey, 1993) mengemukakan pandangannya bahwa modifikasi perilaku-kognitif dilakukan berkenaan untuk menolong klien mendefinisikan problem kognitif dan perilakunya, dengan mengembangkan kognisi, emosi, perubahan perilaku dan mencegah kambuh kembali.
Adapun asumsi yang mendasari modifikasi perilaku kognitif adalah:
1.         Kognisi yang tidak adaptif mengarah pada pembentukan tingkah laku yang tidak adaptif pula
2.         Peningkatan diri yang adaptif dapat ditempuh melalui peningkatan pemikiran yang positif
3.         Klien dapat mempelajari peningkatan pemikiran mengenai sikap, pikiran, dan tingkah laku.
Jadi, dari penjelasan di atas, secara singkat modifikasi perilaku-kognitif dapat diartikan sebagai suatu teknik yang secara simultan berusaha memperkuat timbulnya perilaku adaptif dan memperlemah timbulnya perilaku yang tidak adaptif melalui pemahaman proses internal yaitu aspek kognisi tentang pikiran yang kurang rasional dan upaya pelatihan ketrampilan coping yang sesuai.
A.    Prinsip-prinsip Modifikasi Perilaku- Kognitif
Sebelum proses terapi dimulai, terapis perlu terlebih dahulu menjelaskan susunan terapi kepada subjek, yang meliputi penjelasan tentang sudut pandang teori modifikasi perilaku dan teori terapi kognitif terhadap perilaku yang tidak adaptif, prinsip yang melandasi prosedur modifikasi perilaku kognitif, dan tentang langkah-langkah di dalam terapi. Penjelasan ini penting perannya untuk meningkatkan motivasi individu dan menjalin kerjasama yang baik. Perlu pula dijelaskan bahwa fungsi terapis hanyalah sebagai fasilitator timbulnya perilaku yang dikehendaki, dan individu yang berperan aktif dalam proses terapi (Ivey, 1993). Oleh karena itu individu harus benar-benar terampil menggunakan prinsip-prinsip terapi kognitif dan modifikasi perilaku dengan masalah yang dialaminya, dan peran terapis penting dalam mengajak individu memahami perasaannya dan teknik terapi yang efektif untuk terjadinya perubahan perilaku yang dikehendaki.
Terkait dengan perlunya pemahaman tentang prinsip-prinsip modifikasi perilaku-ognitif, Meichenbaum (dalam Ivey, 1993) mengemukakan 10 hal yang harus diperhatikan seorang terapis dalam penggunaan modifikasi perilaku-kognitif, yaitu:
1.      Terapis perlu memahami bahwa perilaku klien ditentukan oleh pikiran, perasaan, proses fisiologis, dan akibat yang dialaminya. Terapis dapat memasuki sistem interaksi dengan memfokuskan pada pikiran, perasaan, proses fisiologis, dan perilaku yang dihasilkan klien.
2.      Proses kognitif sebenarnya tidak menyebabkan kesulitan emosional, namun yang menyebabkan kesulitan emosional adalah karena proses kognitif itu sendiri merupakan proses interaksi yang kompleks. Bagian penting dari proses kognisi adalah meta-kognisi yaitu klien berusaha untuk memberi komentar secara internal pada pola pemikiran dan perilakunya saat itu. Struktur kognisi yang dibuat individu untuk mengorganisasi pengalaman adalah personal schema. Terapis perlu memahami personal schema yang digunakan oleh klien untuk lebih mamahami masalah yang dialami klien. Perubahan personal schema yang tidak efektif adalah bagian yang penting dari terapi.
3.      Tugas penting dari seorang terapis adalah menolong klien untuk memahami cara klien membentuk dan menafsirkan realitas.
4.      Modifikasi perilaku-kognitif memahami persoalan dengan pendekatan psikoterapi yang diambil dari sisi rasional atau objektif.
5.      Modifikasi perilaku-kognitif ditekankan pada penjabaran serta penemuan proses pemahaman pengalaman klien.
6.      Dimensi yang cukup penting adalah untuk mencegah kekambuhan kembali.
7.      Modifikasi perilaku-kognitif melihat bahwa hubungan baik yang dibangun antara klien dan terapis merupakan sesuatu yang penting dalam proses perubahan klien.
8.      Emosi memainkan peran yang penting dalam terapi, untuk itu klien perlu dibawa ke dalam suasana terapi yang mengungkap pengalaman emosi.
9.      Terapis perlu menjalin kerjasama dengan pihak keluarga ataupun pasangan klien.
10.    Modifikasi perilaku-kognitif dapat diperluas sebagai proses pencegahan timbulnya perilaku maladaptif.
B.     Pengukuran Dalam Modifikasi Perilaku-Kognitif
Pengukuran merupakan hal yang penting dalam modifikasi perilaku-kognitif. Pengukuran yang cermat perlu dilakukan sebelum, selama, dan setelah terapi (Hersen & Bellack, 1977). Melalui pengukuran akan diperoleh data yang berguna untuk melakukan identifikasi, klasifikasi, prediksi, spesifikasi, dan evaluasi.
Terapis perlu mengidentifikasi faktor-faktor pada subjek yang dapat menjadi penghambat ataupun pendorong timbulnya perilaku subjek, aspek biologis, dan anatomis.
Setelah informasi diperoleh, terapis dapat melakukan klasifikasi perilaku yang tidak adaptif, dan perilaku yang adaptif. Prediksi yang dilakukan terutama terkait dengan kontrol yang bersifat terapiutik untuk munculnya perilaku adaptif.
Langkah selanjutnya adalah menentukan teknik serta tujuan yang ingin dicapai. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh efek pelatihan berpengaruh terhadap subjek.
C.    Macam-macam Modifikasi Perilaku-Kognitif
Modifikasi perilaku-kognitif terdiri dari bermacam-macam teknik. Pada bagian ini akan dibahas teknik-teknik yang digunakan dalam penelitian ini.
a)      Teknik relaksasi. Teknik ini dilakukan berdasar pada asumsi bahwa individu dapat secara sadar untuk belajar merilekskan otot-ototnya sesuai dengan keinginannya melalui suatu cara yang sistematis (Jacobson dalam walker dkk., 1981).
Ada bermacam-macam teknik relaksasi, salah satunya yaitu teknik relaxation via letting go agar subjek mampu melepaskan ketegangan dan akhirnya mencapai keadaan tanpa ketegangan. Diharapkan subjek belajar menyadari ketegangannya dengan menegangkan otot-ototnya dan berusaha untuk sedapat mungkin mengurang dan menghilangkan ketegangan otot tersebut.
Selain itu dilatihkan pula teknik differential relaxation yang mengajarkan kepada subjek ketrampilan untuk merilekskan otot-otot yang tidak mendukung aktivitas yang dilakukan, karena dalam keadaan cemas seluruh otot cenderung tegang, walau otot tersebut kurang berperan dalam aktivitas tertentu. Pada penelitian ini materi teknik relaksasi yang digunakan diambil dari materi relaksasi yang digunakan oleh Andajani (1990).
b)      Teknik pemantauan diri. Teknik ini berfungsi sebagai alat pengumpul data sekaligus berfungsi terapiutik. Dasar pemikiran teknik ini adalah pemantauan diri terkait dengan evaluasi diri dan pengukuhan diri (Kanfer, dikutip Andajani, 1990). Subjek memantau dan mencatat perilakunya sendiri, sehingga lebih menyadari perilakunya setiap saat.
Beberapa langkah dalam teknik pemantauan diri adalah sebagai berikut: (a) mendiskusikan dengan subjek tentang pentingnya subjek memantau dan mencatat perilakunya secara teliti, (b) subjek dan terapis secara bersama-sama menentukan jenis perilaku yang hendak dipantau, (c) mendiskusikan saat-saat pemantauan dilaksanakan, (d) terapis menunjukkan pada subjek cara mencatat data, (e) role play Pemantauan diri hendaknya dilakukan untuk satu jenis perilaku dan relatif merupakan respon yang sederhana (Kanfer, 1975).
c)      Teknik kognitif. Dasar pikiran teknik kognitif adalah bahwa proses kognitif sangat berpengaruh terhadap perilaku yang ditampakan oleh individu. Burns (1988) mengungkapkan bahwa perasaan individu sering dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan individu mengenai dirinya sendiri. Pikiran individu tersebut belum tentu merupakan suatu pemikiran yang objektif mengenai keadaan yang dialami sebenarnya. Penyimpangan proses kognitif oleh Burns (1988) juga disebut dengan distorsi kognitif. Pemikiran Burns merupakan pengembangan dari pendapat Goldfried dan Davison (1976) yang menyatakan bahwa reaksi emosional tidak menyenangkan yang dialami individu dapat digunakan sebagai tanda bahwa apa yang dipikirkan mengenai dirinya sendiri mungkin tidak rasional, untuk selanjutnya individu belajar membangun pikiran yang objektif dan rasional terhadap peristiwa yang dialami.
Distorsi kognitif (Burns, 1988) yang dapat dialami oleh individu terdiri dari penyimpangan pemikiran-pemikiran dapat dipaparkan sebagai berikut:
1.      Pemikiran "Segalanva atau Tidak Sama Sekali". Pemikiran ini menunjuk pada kecenderungan individu untuk mengevaluasi kualitas pribadi diri sendiri dalam kategori 'hitam atau putih' secara ekstrim. Pemikiran 'bila saya tidak begini maka saya bukan apa-apa sama sekali" merupakan dasar dari perfeksionisme yang menuntut kesempumaan. Pemikiran ini menyebabkan individu takut terhadap kesalahan atau ketidaksempurnaan apapun, sehingga untuk selanjutnya individu akan memandang dirinya sebagai pribadi yang kalah total, dan individu akan merasa tidak berdaya.
2.      Terlalu Menggeneralisasi. Individu yang melakukan pemikiran terlalu menggeneralisasi terhadap peristiwa yang dihadapinya maka individu tersebut menyimpulkan bahwa satu hal yang pernah terjadi pada dirinya akan terjadi lagi berulang kali, karena apa yang pernah terjadi sangat tidak menyenangkan, maka individu selalu senantiasa merasa terganggu dan sedih.
3.      Filter Mental. Pemikiran ini menunjuk kecenderungan individu untuk mengambil suatu hal negatif dalam situasi tertentu, terus memikirkannya, dan dengan demikian individu tersebut mempersepsikan seluruh situasi sebagai hal yang negatif. Dalam hal ini individu yang bersangkutan tidak menyadari adanya "proses penyaringan", maka individu lalu menyimpulkan bahwa segalanya selalu negatif. Istilah teknis untuk proses ini ialah "abstraksi selektif'.
4.      Mendiskualifikasikan Yang Positif. Suatu pemikiran yang dilakukan oleh individu yang tidak hanya sekedar mengabaikan pengalaman-pengalaman yang positif, tetapi juga mengubah semua pengalaman yang dialaminya menjadi hal yang negatif.
5.      Loncatan ke Kesimpulan. Individu melakukan pemikiran meloncat ke suatu kesimpulan negatif yang tidak didukung oleh fakta dari situasi yang ada. Dua jenis distorsi kognitifini adalah "membaca pikiran" dan "kesalahan peramal". Membaca pikiran yaitu individu berasumsi bahwa orang lain sedang memandang rendah dirinya, dan individu tersebut yakin akan hal ini sehingga dirinya sama sekali tidak berminat untuk mengecek kembali kebenarannya.
Kesalahan peramal yaitu kecenderungan individu untuk membayangkan sesuatu yang buruk akan terjadi, dan individu tersebut menganggap pemikirannya sebagai suatu fakta walaupun sama sekali tidak realistis.
6.      Pembesaran dan Pengecilan. Individu memiliki kecenderungan untuk memperbesar atau memperkecil hal-hal yang dialaminya di luar proporsinya. Pembesaran yaitu individu akan melebih-lebihkan kesalahan, ketakutan, atau ketidaksempurnaan dirinya. Pengecilan yaitu individu akan mengecilkan nilai dari kemampuan dirinya sehingga kemampuan yang dimilikinya tampak menjadi kecil dan tidak berarti. Jika individu membesar-besarkan ketidaksempurnaan dirinya serta memperkecil kemampuannya, maka individu akan merasa dirinya rendah dan tidak berarti.
7.      Penalaran Emosional. Individu menggunakan emosinya sebagai bukti untuk kebenaran yang dikehendakinya. Penalaran emosional akan menyesatkan sebab perasaan individulah yang menjadi cermin pemikiran serta keyakinannya, bukan kondisi yang sebenarnya.
8.      Pernyataan "Harus". Individu mencoba memotivasi diri sendiri dengan mengatakan "Saya harus melakukan pekerjaan ini". Pernyataan tersebut menyebabkan individu merasa tertekan, sehingga menjadi tidak termotivasi. Bila individu menunjukkan pernyataan "harus" kepada orang lain, maka individu akan mudah frustasi ketika mengalami kenyataan yang tidak sesuai dengan harapannya.
9.      Memberi Cap dan Salah Memberi Cap. Memberi cap pribadi berarti menciptakan gambaran diri yang negatif yang didasarkan pada kesalahan individu. Ini mernpakan bentuk ekstrim dari terlalu menggeneralisasi. Pemikiran dibalik distorsi kognitif ini adalah nilai individu terletak pada kesalahan yang dibuatnya, bukan pada kelebihan potensi dirinya. Salah memberi cap berarti menciptakan gambaran negatif didasarkan emosi yang dialami saat itu.
10.  Personalisasi. Individu merasa bertanggung jawab atas peristiwa negatif yang terjadi, walaupun sebenarnya peristiwa bukan merupakan kesalahan dirinya. Jadi, individu memandang dirinya sebagai penyebab dari suatu peristiwa yang negatif, yang dalam kenyataan sebenarnya bukan individu yang harus bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut.
D.    Efektivitas Modifikasi Perilaku-Kognitif untuk mengurangi Kecemasan Komunikasi Antar Pribadi.
Berikut ini akan dipaparkan peranan masing-masing teknik yang digunakan pada penelitian ini terhadap pengendalian kecemasan komunikasi antar pribadi.
1.      Peranan Teknik Relaksasi pada Pengendalian Kecemasan Komunikasi Antar Pribadi
Individu perlu membuat dirinya dalam keadaan rileks pada saat individu menyadari pikiran-pikirannya yang tidak rasional dan melihat peristiwa yang dihadapinya secara objektif dan rasional, sehingga tercapai keadaan individu yang mampu mengurangi perasaan tidak menyenangkan. Teknik relaksasi dipelajari untuk meningkatkan kemampuan menyadari ketegangan otot yang terjadi pada saat mengalami kecemasan komunikasi antar pribadi dan secara sistematis meredakan ketegangan tersebut mencapai keadaan rileks.
Pada saat individu merasa cemas, maka sebenarnya otot-otot tubuhnya mengalami ketegangan terutama pada otot sekitar wajah, dan leher. Denyut jantung juga menjadi berdetak lebih keras. Ketegangan pada otot-otot tersebut menyebabkan individu semakin sulit untuk melakukan komunikasi, denyut jantung yang berdebar membuat seseorang menjadi merasa cemas dan tidak mampu berpikir tentang hal-hal yang ingin diungkapkan. Dengan melatih tubuh menjadi rileks, maka ketika individu merasa tegang ia menjadi lebih cepat sadar tentang kondisi dirinya yang tegang. Ketika individu telah berhasil meredakan ketegangan tubuhnya, ia akan lebih mampu berpikir lebih baik tentang hal-hal yang ingin diungkapkan.
2.      Peranan Teknik Pemantauan Diri Pada Pengendalian Kecemasan Komunikasi Antar Pribadi
Teknik pemantauan diri dilaksanakan dengan tujuan peningkatan kesadaran individu tentang perilaku dirinya, melalui pemantauan serta pencatatan sehingga diharapkan individu yang bersangkutan mempunyai pemahaman yang objekif terhadap perilakunya (Kanfer, 1975). Soekadji (1983) menegaskan pentingnya pemantauan diri dan pencatatan data pada subjek agar tidak menimbulkan kesan yang salah bahwa ada perubahan perilaku yang sebenarnya hanya merupakan harapannya saja.
Proses pemantauan diri dan pencatatan data dapat menimbulkan perubahan frekuensi perilaku tidak adaptif, karena dalam proses tersebut juga terjadi proses evaluasi dan pengukuhan diri (Kanfer, 1975). Pencatatan yang dilakukan individu akan membantu individu tersebut untuk lebih memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi sehari-hari, perasaan-perasaan yang dialami ketika berkomunikasi dengan individu lain. Dengan latihan pencatatan pemantauan diri maka individu lebih menyelami perasaannya dan mampu mengoreksi perasaan negatif yang dialaminya.
3.      Peranan Teknik Komunikasi pada Pengendalian Kecemasan Komunikasi Antar Pribadi
Teknik ini bertujuan untuk mengajarkan kemampuan aspek kognitif yang berperan untuk pembentukan perilaku yang dikehendaki (Goldfried dan Davison, 1976). Individu mengembangkan perilakunya yang adaptif maupun tidak adaptif dan pola perasaan melalui proses kognitif (Burns, 1988). Kesadaran individu bahwa kecemasannya dalam berkomunikasi antar pribadi disebabkan oleh adanya pikiran dan persepsi yang tidak rasional dan kemampuan untuk menggantikan pikiran-pikiran tidak rasional dengan pikiran objektif membuat individu lebih terkendali (Markman dalam Kanfer dan Goldstein, 1986). Dengan demikian individu melakukan evaluasi terhadap pernyataan-pernyataan diri yang menimbulkan kecemasan, menghentikan pikiran-pikiran tersebut, dan kemudian membuat pernyataan-pernyataan diri yang objektif serta rasional (Bellack dan Hersen, 1977).
Individu yang merasa cemas ketika berkomunikasi antara pribadi sebenarnya mengalami beberapa distorsi kognitif yang tidak disadarinya. Dengan individu menyadari bahwa ternyata ada beberapa distorsi kognitif, maka diharapkan individu tersebut mampu mengatasi rasa cemasnya dengan memperbaiki pola pemikirannya.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Pengertian Komunikasi Antar Pribadi
Sejak awal kehidupannya setiap manusia tidak dapat berdiri sendiri. Manusia yang satu selalu membutuhkan manusia yang lain untuk melangsungkan kehidupannya. Dari hubungan yang saling membutuhkan manusia mempunyai lambang-lambang pesan untuk mempertukarkan informasi di antara sesama. Manusia juga tidak dapat lepas dari hubungan antar sesama manusia, karena manusia mempunyai ke1uarga tempat dilahirkan, dipelihara, dan dibesarkan. Keluarga merupakan tempat manusia tinggal yang tidak dapat terlepas dari masyarakat tempat keluarga berada.
Pentingnya hubungan yang terjadi antar sesama manusia dikemukakan oleh Klinger (1977) yang mengatakan bahwa hubungan dengan manusia lain ternyata sangat mempengaruhi manusia itu sendiri. Manusia tergantung terhadap manusia lain karena orang lain juga berusaha mempengaruhi melalui pengertian yang diberikan, informasi yang dibagi, dan semangat yang disumbangkan. Semuanya membentuk pengetahuan, menguatkan perasaan, dan meneguhkan perilaku manusia.
Meskipun demikian banyak ahli akhirnya berpendapat bahwa semua yang menjadi tekanan dalam komunikasi antar pribadi akhirnya menuju pada perspektif situasi. Perspektif situasi menurut Miller dan Steinberg (dalam Liliweri, 1991) merupakan situasi suatu perspektif yang menekankan bahwa sukses tidaknya komunikasi antar pribadi sangat sangat tergantung pada situasi komunikasi, mengacu pada hubungan tatap muka antara dua individu atau sebagian kecil individu dengan mengandalkan suatu kekuatan yang segera saling mendekati satu dengan yang lain pada saat itu juga.
Berdasarkan pendapat Miller dan Steinberg di atas, maka kedudukan komunikator yang dapat bergantian dengan komunikan pada tahap lanjutan harus menciptakan suasana hubungan antar manusia yang terlibat di dalamnya. Pada tahap ini maka komunikasi antar individu harus manusiawi, sehingga individu-individu yang tidak mengenal satu sama lain mutu komunikasinya kurang daripada komunikasi antar pribadi di antara pihak-pihak yang sudah sating mengenal sebelumnya.
Komunikasi antar pribadi dari mereka yang saling mengenal lebih bermutu karena setiap pihak memahami secara baik tentang liku-liku hidup pihak lain, pikiran, perasaan, maupun menanggapi tingkal laku. Kesimpulannya bahwa jika hendak menciptakan suatu komunikasi antar pribadi yang bermutu maka harus didahului dengan suatu keakraban.
Batasan pengertian yang benar-benar baik tentang komunikasi antar pribadi tidak ada yang memuaskan semua pihak. Semua batasan arti sangat tergantung bagaimana individu melihat dan mengetahui perilaku pada saat terdapat dua individu atau lebih yang saling mengenal secara pribadi daripada hanya berbasa-basi saja. Dengan kata lain, tidak semua bentuk interaksi yang dilakukan antara dua individu dapat digolongkan komunikasi antar pribadi. Ada tahap-tahap tertentu dalam interaksi antara dua individu harus terlewati untuk menentukan komunikasi antar pribadi benar-benar dilakukan.
Ada tujuh sifat yang menunjukkan bahwa suatu komunikasi antara dua individu merupakan komunikasi antar pribadi (Liliweri, 1991). Sifat-sifat komunikasi antar pribadi itu adalah :
1.      Melibatkan di dalamnya perilaku verbal dan non verbal.
2.      Melibatkan perilaku spontan, tepat, dan rasional.
3.      Komunikasi antar pribadi tidaklah statis, melainkan dinamis.
4.      Melibatkan umpan balik pribadi, hubungan interaksi, dan koherensi (pernyataan yang satu harus berkaitan dengan yang lain sebelumnya).
5.      Komunikasi antar pribadi dipandu oleh tata aturan yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik.
6.      Komunikasi antar pribadi merupakan suatu kegiatan dan tindakan.
7.      Melibatkan di dalamnya bidang persuasif.
Lebih lanjut, Lunandi (1992) menjelaskan bahwa yang dimaksud komunikasi antar pribadi yang baik adalah komunikasi yang mempunyai siaft keterbukaan, kepekaan, dan bersifat umpan balik. Individu merasa puas dalam berkomunikasi antar pribadi bila ia dapat mengerti orang lain dan merasa bahwa orang lain juga memahami dirinya.
Lunandi (1992) menekankan pentingnya komunikasi antar pribadi dibedakan dari bentuk komunikasi di muka umum dan komunikasi di dalam kelompok kecil. Komunikasi antar pribadi dibatasi pada komunikasi antara orang dengan orang dalam situasi tatap muka. Jadi, sama sekali tidak meliputi telekomunikasi jarak jauh (telepon, telegram, telex) dan komunikasi massa, yang ditujukan kepada sejumlah orang besar orang sekaligus (surat kabar, radio, televisi). Ada bentuk pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan komunikasi antar pribadi sebagai bentuk yang berbeda dari bentuk lain komunikasi. Komunikasi antar pribadi sebagai suatu kegiatan terus menerus yang dilakukan orang untuk saling berhubungan dengan orang lain, khususnya pada waktu berhadapan muka.
Miller dan Steinberg (dalam burgoon dan Ruffner, 1978) telah membuat sumbangan pemikiran yang penting untuk memahami komunikasi manusia dengan menyajikan cara mengkonsep bentuk komunikasi antar pribadi. Asumsinya adalah manusia mempunyai kemampuan menyeleksi strategi komunikasi yang akan memaksimalkan kemungkinan untuk berhasil dalam komunikasi yang dilakukan. Manusia ternyata mampu untuk membuat prediksi tentang akibat dan hasil dari komunikasi yang dilakukan. Untuk memprediksi suatu bentuk komunikasi termasuk komunikasi antar pribadi atau bukan perlu dilakukan pemahaman terhadap identifikasi 3 data tingkat informasi, yaitu:
1.      Data tingkat kebudayaan (Cultural level-data).
Kebudayaan merupakan sekumpulan keteraturan, norma, institusi sosial, kebiasaan, dan ide-ide yang dimiliki oleh sekumpulan orang. Terkadang kebudayaan didefinisikan sebagai lokasi geografis, etnis, pola religius. Para ahli menganggap bahwa orang yang termasuk kelompok kebudayaan yang sama mempunyai kesamaan cara bertingkah laku dan tampak memiliki sikap dan nilai tertentu. Dengan demikian, kebudayaan dapat memberi petunjuk bagaimana anggota kelompok kebudayaan tertentu akan berkomunikasi satu dengan yang lainnya.
Dengan data kebudayaan yang ada, dapat dibuat prediksi atau perkiraan bagaimana anggota dalam kebudayaan tertentu akan berkomunikasi dan merespon orang lain. Masalah yang mungkin terjadi ketika seseorang yang hanya mempunyai data tingkat kebudayaan berhadapan dengan orang lain adalah kesalahpahaman. Ketika berhadapan dengan individu yang spesifik, seseorang harus berhati-hati untuk menerapkan perkiraan tentang orang tersebut berdasar data tingkat kebudayaan. Masing-masing individu yang tergabung dalam suatu kelompok kebudayaan mempunyai kepribadian sendiri-sendiri.
Para ahli komunikasi berpendapat bahwa dengan hanya menggunakan strategi yang memiliki data tingkat kebudayaan saja, belum cukup untuk dapat dikatakan mampu berkomunikasi secara interpersonal atau pribadi. Dengan demikian berarti seseorang hanya menggeneralisasi data yang diambil dari sebuah kelompok kebudayaan dan tidak membedakan serta menyesuaikan komunikasi dengan individu yang berbeda-beda.
2.      Data tingkat sosiologis (Sociological-level data).
Analisis data tingkat sosiologis didasarkan pada pertimbangan yang dibuat tentang orang lain dengan mengetahui kelompok tempat orang tersebut termasuk. Ada pertimbangan untuk mengelompokkan seseorang ke dalam kelompok tertentu berdasar keanggotaannya pada bentuk kelompok sosial yang dipilihnya. Namun ada juga keanggotaan kelompok yang tidak dipilih sendiri oleh yang  ersangkutan, misalnya termasuk ke dalam kelompok orang tua, dewasa, dan remaja. Bagaimanapun juga, anggota yang termasuk kelompok tertentu, baik yang dipilih sendiri maupun tidak mempunyai kesamaan dengan anggota lainnya dalam satu kelompok. Antar kelompok itu sendiri mempunyai perbedaan yang merupakan ciri dari masing-masing bentuk kelompoknya.
Membuat prediksi berdasar pada analisis data tingkat sosiologis ternyata sulit bila seseorang berkomunikasi dengan yang lainnya. Data tingkat sosiologis merupakan generalisasi dari tingkah laku yang ditemui pada keanggotaan setiap kelompok, yang tidak dapat begitu saja diterapkan pada setiap anggota kelompok.
3.      Data tingkat psikologis (Psychological-level data)
Untuk lebih dapat mengenal perbedaan-perbedaan individu dibutuhkan strategi mengenai data tingkat psikologis. Data tingkat psikologis menuntut adanya saling mengenal antar individu yang terlibat di dalam transaksi komunikasi. Walaupun individu mempunyai sekumpulan data mengenai kebudayaan dan sosiologis seseorang tidak dapat memperkirakan perilaku khusus seseorang yang dihadapinya. Informasi mengenai data tingkat psikologis tidak dapat dipisahkan dari proses keintiman yang terjalin, terkadang seseorang memberikan informasi mengenai dirinya sendiri kepada orang lain, dan mendapatkan informasi balik dari orang lain mengenai dirinya.
Memperoleh informasi data tingkat psikologis sangat dibutuhkan untuk mengembangkan komunikasi antar pribadi yang terjalin. Dapat dibayangkan bila seseorang menggunakan waktunya untuk terlibat dalam komunikasi antar pribadi dengan orang lain dan tetap merasa hanya memiliki data yang sedikit tentang orang tersebut, maka komunikasi yang dilakukannya tidak dapat melibatkan emosi yang mampu mencerminkan kehangatan, keterbukaan, dan dukungan.
Di dalam mengembangkan transaksi komunikasi, individu cenderung untuk lebih banyak menggunakan data tingkat psikologis. Dengan kata lain, strategi komunikasi yang dilakukan individu didasarkan pada pengetahuan tentang perbedaan individu-individu yang dihadapi. Setiap individu memiliki karakteristik yang unik dan tidak dapat digeneralisasikan begitu saja.
Jadi, di dalam komunikasi antar pribadi yang lebih ditekankan adalah strategi komunikasi yang berdasar pada data tingkat psikologis. Data tingkat kebudayaan dan sosiologis digunakan sebagai pelengkap di dalam mengumpulkan data tentang seseorang yang sedang dihadapi.
Selain kemampuan menganalisis data tingkat psikologis seseorang, di dalam melakukan transaksi komunikasi antar pribadi, juga dibutuhkan kemampuan-kemampuan khusus. Bochner dan Kelly (dalam landt, 1976) mengemukakan 5 kemampuan khusus di dalam menjalin komunikasi antar pribadi, yaitu: (1) empati, atau proses kemampuan menangkap hal-hal yang terdapat di dalam komunikasi dengan orang lain melalui analisis isi pembicaraan, nada suara, ekspresi wajah, sehingga seseorang dapat menangkap pikiran dan perasaan yang sesuai dengan orang yang bersangkutan, (2) diskripsi, kemampuan untuk membuat pernyataan yang konkrit, spesifik, dan diskriptif, (3) kemampuan merasakan dan memahami pernyataan yang dibuat dan mempertanggungjawabkannya sehingga tidak hanya menyalahkan orang lain terhadap perasaan yang dialami, (4) sikap kedekatan, keinginan untuk membicarakan perasaan-perasaan pribadi, (5) tingkah laku yang fleksibel ketika menghadapi kejadian yang baru dialami.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari batasan tentang komunikasi antar pribadi adalah bahwa komunikasi antar pribadi lebih dari sekedar komunikasi tatap muka, namun dari komunikasi tatap muka lebih memungkinkan untuk dikembangkan menjadi komunikasi antar pribadi. Mengembangkan komunikasi antar pribadi dapat dengan melakukan analisis data tingkat psikologis yang menekankan bahwa individu berbeda-beda, dan pendekatannya juga berbeda-beda. Dari komunikasi tatap muka besar kemungkinan dikembangkan hubungan yang bersifat hangat, terbuka, dan komunikasi tersebut dianggap sebagai sesuatu yang menyenangkan bagi yang bersangkutan.
B.     Kecemasan Komunikasi Antar Pribadi
Dalam berkomunikasi antar pribadi dibutuhkan suatu proses timbal balik yang aktif antara dua individu dalam memberi dan menerima informasi, sehingga terjalin adanya saling pengertian bagi ke dua belah pihak.
Burgoon dan Ruffner (1978) dalam buku "Human Communication" menjelaskan hambatan komunikasi (communication apprehension) sebagai bentuk reaksi negatif dari individu berupa kecemasan yang dialami seseorang ketika berkomunikasi, baik komunikasi antar pribadi, komunikasi di depan umum, maupun komunikasi massa.
Individu yang mengalami hambatan komunikasi (communication apprehension) akan merasa cemas bila berpartisipasi dalam komunikasi bentuk yang lebih luas, tidak sekedar cemas berbicara di muka umum. Individu tidak mampu untuk mengantisipasi perasaan negatifnya, dan sedapat mungkin berusaha untuk menghindari berkomunikasi. Jadi, istilah hambatan komunikasi (communication apprehension) mencakup kondisi yang lebih luas, baik kecemasan komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok, dan komunikasi massa. Dalam penelitian ini yang akan ditekankan adalah pada kecemasan komunikasi antar pribadi.
Individu yang mengalami kecemasan dalam berbagai bentuk, termasuk cemas ketika berkomunikasi antar pribadi sebenarnya berada dalam kondisi emosi yang sama sekali tidak menyenangkan (Spielberger, dalam Post dkk.,1978). Lazarus, (1976) menjelaskan lebih lanjut bahwa perasaan cemas sebenarnya merupakan pengalaman yang samar-samar disertai dengan adanya perasaan tidak berdaya.
Sifat kecemasan dikatakan subjekif, artinya bahwa kejadian yang menjadi penyebab dan reaksi yang dialami tiap individu berbeda. Pada umumnya tanda-tanda yang menyertai kecemasan pada tiap orang adalah sama, yaitu ditandai dengan perubahan psikologis seperti perasaan tegang, takut, khawatir, perubahan fisiologis seperti denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah yang meningkat (Lazarus, 1976; Solomon dan nevid, 1974; dalam Post dkk., 1978).
Burgoon dan Ruffner (1978) mengemukakan tentang ciri-ciri kecemasan komunikasi antar pribadi, yaitu ;
a.       Tidak berminat untuk berprestasi dalam berkomunikasi (Unwillingness). Individu tidak berminat berkomunikasi disebabkan adanya rasa cemas, sifat introvert.
b.      Penghindaran (Avoiding). Individu cenderung menghindar terlibat dalam berkomunikasi, dapat disebabkan adanya kecemasan, atau kurang informasi mengenai situasi komunikasi yang akan dihadapi.
c.       Skill acquisitionlsyarat ketrampilan. Teori ini menyatakan bahwa individu akan merasa cemas bila ia merasa gagal atau tidak berhasil mengembangkan ketrampilannya dalam berkomunikasi.
d.      Modelling/peniruan. Teori ini menjelaskan bahwa kecemasan komunikasi berkembang dari proses imitasi terhadap orang lain yang diamati oleh seseorang di dalam interaksi sosialnya.
Burgoon dan Ruffner (1978) juga menyebutkan adanya satu faktor kurangnya pengalaman atau adanya pengalaman yang tidak menyenangkan yang dirasakan individu sehingga mengakibatkan individu cenderung menghindari komunikasi.
C.    Modifikasi Perilaku-Kognitif
Berbagai penelitian tentang terapi kecemasan komunikasi antar pribadi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa modifikasi perilaku-kognitif efektif untuk mengatasi individu yang mengalami kecemasan komunikasi antar pribadi (Markman dalam Kanfer dan Goldstein, 1986). Modifikasi perilaku-kognitif merupakan teknik menggabungkan terapi kognitif dan bentuk modifikasi perilaku (Meichenbaum dalam Kanfer dan Goldstein, 1986).
lndividu yang akan bertindak, sebelumnya didahului adanya proses berpikir, sehingga bila ingin mengubah suatu perilaku yang tidak adaptif, terlebih dahulu harus memahami aspek-aspek yang berada dalam pengalaman kognitif dan usaha untuk membangun perilaku adaptif melalui mempelajari ketrampilan-ketrampilan yang terdapat pada terapi perilakuan (Meichenbaum & Goldstein, 1986).
Meichenbaum (dalam Ivey, 1993) menekankan interaksi antara manusia dan lingkungan. Perilaku teljadi secara resiprok dipengaruhi oleh pemikiran, perasaan, proses fisiologis dan konsekuensi perilaku. Modifikasi perilaku-kognitif merupakan bentuk terapi yang ingin melihat bahwa individu tidak hanya dipahami melalui perilaku yang tampak saja seperti yang dilihat oleh pihak perilakuan (behaviorist), namun dibalik tingkah laku yang tampak terdapat proses internal yang sebenarnya merupakan hasil pemikiran kognisi.

BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA

Pustakanya Silakan Email Ke:
Email: as_ad_khalid61@yahoo.com
Kalau Telat khalid Bls Silakan Tel Ke
Hp: 085260000898

1 komentar:

  1. Casino - New Jersey, United States - MapYRO
    Casino is on map. 나주 출장샵 Welcome to the 경주 출장마사지 latest casino experience New 부산광역 출장샵 Jersey has 충청북도 출장샵 created. This casino offers a wide variety of 사천 출장안마 gaming options for

    BalasHapus